The Starting Point : Kisah Disamping Kematian

Selamat siang sahabat...

Ini adalah tulisan santai perdana saya yang ‘nampil’ di blog saya. Si dashboard mungkin telah ‘pangling’ dengan tuannya -penulis-, karena memang hampir satu tahun, si penulis tidak pernah menyambangi blog. Tapi itu dulu lah, dengan tulisan ini semoga bisa menjadi starting point bagi penulis untuk lebih ‘telaten’ dalam menyapa sahabat-sahabat di dunia maya melalui buah karyanya.

Memang, “bagian terberat dalam melakukan sesuatu adalah mengawalinya” -ehm puitis, hehe-, ini benar-benar terjadi pada penulis. Sebenarnya, hampir tiap hari ada pengalaman-pengalaman baru yang ingin penulis tuangkan dalam tulisan seperti ini. Tapi seremeh apapun pekerjaan, agaknya akan sulit terwujud, jika tanpa didasari tekad dan niat yang kuat, begitupun untuk sekadar menulis.

Udah dulu curhatnya, hehe.. kali ini penulis akan berbagi pengalaman yang baru saja didapat sesaat sebelum penulis membuka laptop dan menulisnya, jadi masih hangat-hangat *ai ayam nih...:v
***

Gini ceritanya, penulis baru saja melakukan ta’ziyah (berkunjung dan mendoakan orang yang  baru saja meninggal) di dekat pesantren. Kebetulan penulis juga nyantri di sebuah pesantren di Yogyakarta. Ada sekitar sebelas santri yang ikut datang dan mensholati jenazah –termasuk penulis-. Maklum baru pertama kali ikut kegiatan masyarakat, penulis pun memilih berjalan di bagian belakang rombongan, hitung-hitung ‘studi banding’ mata kuliah kemayarakatan, spesifik lagi ke bidang ta’ziyah –asal asal aja- kepada santri-santri yang lebih sepuh (senior). Setelah sampai di kediaman jenazah, rombongan segera disambut dengan senyum tipis dan jabat tangan dari warga sekitar dan keluarga. Tanpa sempat mengeringkan keringat, rombongan lekas dipersilahkan untuk mensholati jenazah, tepatnya di ruang tamu. Ini kesan pertama yang penulis tangkap, pasalnya di tempat asal penulis –tanya, dimana?-, sholat jenazah hanya dilakukan di masjid ataupun mushola. Seketika, timbul dialog dalam diri penulis, hati A bertanya “kenapa emang kalau jenazah disholati di kediamannya?”, hati B lantas menjawab “ya, gak kenapa-napa”. sewajarnya terjadi memang, ketika kita menemui pengalaman baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, hati kita akan bertanya-tanya seputar pengalamn baru tersebut (pesan moral pertama), itu yang terjadi pada hati A tadi. 

Seusai sholat, penulis menangkap kesan kedua, yakni tiap pentakziyah yang datang diberi snack box. Yang mana, di tempat asal penulis, hal ini tidak terjadi. Di tempat asal penulis terdapat sebuah –kearifan- yakni kesepakatan tak tertulis dalam masyarakat, bahwa keluarga orang yang meninggal dunia telah ‘susah’ dengan ditinggal jenazah, oleh karenanya keluarga tidak lagi dibebani dengan penjamuan para pentakziyah. Jadi kalau di sana, orang yang datang bertakziyah dapat dikatakan murni karena solidaritas dan kesadaran sebagai bagian dari masyarakat. Sebaliknya, sudah menjadi adat bahwa para pentakziyah membawa ‘gawan’ ke kediaman jenazah, bisa berupa beras, gula atau yang lain. Hal ini menggambarkan sikap “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau prilaku tenggang rasa yang masih sangat terjaga di masyarakat. -Penulis perjelas terlebih dahulu, bahwa lingkungan tempat asal penulis adalah pedesaan, dan tempat tinggal penulis sekarang adalah perkotaan-. Eitz, jangan salah paham dulu mengenai tenggang rasa antara masyarakat pedesaan dan perkotaan, penulis belum selesai bercerita. Disamping disuguhi jamuan, di salah satu sudut srategis kediaman jenazah terdapat kotak sumbangan. Owh... ya itulah perbedaan bentuk solidaritas antara masyarakat kota dan desa, karena memang baru pertama kali, ya penulis tidak menyaiapkan ‘sesuatu’ untuk dimasukkan ke kotak sumbangan tersebut. Di luar dari itu, kita samakan pemahaman, bahwa esensi dari keduanya adalah sama : solidaritas.

Kejadian yang membuat kaget penulis adalah lebih dari separuh anggota rombongan di bagian depan langsung pulang sambil membawa snack box, tanpa menunggu prosesi pemakaman atau sekadar berhenti sejenak untuk menjalin keakraban. Penulis bersama sisa anggota rombongan yang di belakang lantas pun berunding hendak ikut rombongan atau menunggu pemakaman. Akhirnya pemberhentian sejenak tersebut agaknya menjadi pemberhentian yang lumayan lama, karena keputusan yang diambil adalah mengikuti prosesi pemakaman. Pesan moral kedua yang penulis dapat adalah, tidak semua orang mempunyai jiwa sosial yang sama, meskipun mereka tumbuh di tempat yang sama. tanpa memperpanjang pertanyaan mengenai sikap rombongan yang terkesan ‘kurang sosialis’, penulis mengalihkan ke anggapan bahwa mereka ada kepentingan lain yang lebih urgen.

Setelahnya, kami mencari tempat teduh untuk istirahat, selang dua menit, ada bapak tua yang menghampiri penulis, dengan segera penulis mempersilahkan. Kerut di wajahnya mengabarkan bahwa usia bapak itu lebih dari separuh abad. Relief tangannya saat bersalaman menandakan pekerjaan yang dilakukannya tidaklah ringan sampai akhirnya penulis beradu ucap dengan bapak tadi. Bapak itu bernama ‘adwus’ beliau lahir pada tahaun 1937, berarti usianya sekitar 77 tahun lah. Perbincangan pun terjadi, pembahasan mengenai latar belakang keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, sejarah kemerdekaan, tentara belanda, pendudukan jepang, Sri sultan HB X dan situs bekas kerajaan mataram Islam pun di bahas. Tak sampai di situ, bapak adwus juga menceritakan sejarah berdirinya pesantren yang penulis tempati, maklum pesantren baru berdiri pada tahun tujuh puluh-an. 

Ada beberapa ucapan pak adwus yang penulis garisbawahi dan layak untuk dijadikan pesan moral selanjutnya; yakni ketika perbincangan mengarah kepada kasus bom Bali I dan II, beliau berargumen “wong jowo kui ra entuk ngrugi’ake marang liyan” yang dalam arti indonesia “orang jawa itu tidak patut jika ia merugikan orang lain”, jika dihubungkan dengan ajaran agama, pernyataan ini sejalan dengan ‘خيرالناس انفعهم للناس’- sebaik-baik manusia adalah yang mendatangkan manfaat bagi sesamanya. Nampaknya ungkapan yang tidak asing bagi kebanyakan masyarakat, tapi sangat berkesan bagi penulis karena itu datang ekslusif dari orang yang telah makan garam akan filosofi masyarakat jawa. Bukan tanpa alasan, masyarakat jawa memang telah terkenal sejak lama sebagai masyarakat yang ramah, santun, suka membantu dan memiliki kearifan lokal yang ‘lebih’ dibanding dengan masyarakat di luar jawa, tanpa mengesampingkan adanya minoritas yang berlaku sebaliknya.

Pak adwus juga berpesan setelah penulis tanya perihal penyakit asam urat yang dideritanya, ‘sinau sing mempeng, ben ra rekoso yen tuo. Kulo riyen mboten lulus madrasah, mangkane rekoso mados penggawean sing kepenak. Penyakit iki yo kui, sebabe penggawean sing kulo lakoni serabutan. Menek krambil nggeh, rewang nguli nggeh, mbambung...’ Yang intinya penulis disuruh rajin dan serius dalam belajar sehingga ketika sudah wakktunya tidak kesusahan dalam mencari pekerjaan yang layak. 

Apa yang tertulis hanya sebagian kecil dari apa yang pak adwus katakan, karena disamping keterbatasan penulis dalam menangkap informasi yang pak adwus sampaikan dengan menggunakan bahasa jawa halus, juga pelafalan dari bapaknya yang kurang fasih dalam mengeluarkan kata-kata, tak lain karena faktor usia.

Yang penulis kagumi tentang bapak adwus, beliau bisa ingat betul mengenai rekaman kejadian yang pernah terjadi dalam kehidupannya. Ketika penulis bertanya mengena keberadaan makam dan rumah kosong di sekitar pesantren, pak adwus hanya memejamkan mata sekitar lima detik, kemudian menjawabnya tanpa ragu. Memang sih, kami penulis tidak mengetahui kevalidan dari yang diucapkan beliau, tapi apa yang nampak di hadapan penulis sama sekali tidak menggambbarkan adanya sebuah perkataan yang mengada-ada. Selain itu, sikap menghormati masyarakat jogja yang masih bersedia boso-berbahasa halus- terhadap siapapun tetap menjadi kekaguman penulis yang lebih dari satu tahun berada di kota pelajar ini.

Penulis juga menemukan hal baru perihal adat pemakaman yang berlaku di sekitar tempat penulis, yakni ditaruhnya potongan-potongan bambu diatas peti setelah jenazah direbahkan di dalamnya. Ganjal untuk menyangga tubuh jenazah yang terbuat dari beton, serta tatacara berdoa yang ditemui penulis adalah hal baru yang sebelumnya belum ditemui penulis. Saat jenazah diangkat ke liang kubur, seketika penulis terbang ke masa yang akan datang, mengenai ajal yang tiap saat siap menyapa penulis, siksa kubur yang tak mungkin terelakkan dari diri penulis yang ‘kotor’, dan renungan seputar kematian yang memenuhi pikiran penulis. Semoga penulis dan para pembaca selalu dalam bimbingan-Nya agar selalu berbuat kebaikan. Penulis juga merasakan tidak hanya golongan manusia yang prihatin akan adanya kematian, pohon palem yang menjadi sandaran penulis saat prosesi pemakaman pun bergerak lebih keras saat jenazah dmasukkan ke liang, angin pun semakin berhembus, seakan mengingatkan bahwa hdup kita di dunia hanyalah sesaat dan kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat 
– والاخرة خير لك وابقى 

Beberapa poin dapat penulis ambil dari pengalaman di atas adalah;
  • Hal paling berat dalam  melakukan suatu pekerjaan adalah memulainya, jadi bulatkan tekad dan jalani dengan sepenuh hati.
  • Hendaknya kita, manusia, harus terus mengembangakan kecerdasan sosial kita dalam menjalan kehidupan bermasyarakat, tidak baik jika hanya mementingkan kepentingan individu
  • Indonesia memang  syarat akan tradisi, tiap daerah, suku dan golongan memiliki tata cara masing-masing dalam menjalankan suatu ritual, baik keagamaan, sosial dan bermasyarakat.
  • Hati kita akan ‘shock’ ketika bertemu hal-hal yang sama sekali baru. Jadi siapkan hati untuk memulai hal-hal baru. Jangan takut untuk mencoba pengalaman baru, karena ‘sebaik-baik guru adalah pengalaman’.
  • Sebagai orang jawa dan manusia pada umumnya, hendaknya kita bisa menghargai kepentingan dan hak orang lain. Tidak hanya kita yang punya hak, di uar kita ada masyarakat lain yang juga mempunyai hak. Jadi jangan sampai hak yang kita dapat itu menyinggung hak orang lain.
  • Belajar yang sungguh-sungguh adalah kunci kesuksesan di masa depan. Poin dasar laig adalah, belajar tidak harus di lembaga formal, alam raya adalah sekolah, semua orang adalah guru.
  • Kematian lebih dekat dari bayang-bayang diri kita sendiri, selalu berbuat kebaikan dan sandarkan kepada-Nya.

Terima kasih Allah,  atas pengalaman berharga ini dan pertemuan penulis dengan sosok lintas jaman. Semoga bisa membantu penulis untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Aamiin,,

Sekian tulisan pertama dari penulis. Oh iya, mungkin belum pada kenal ya,,,?? :D , oke, oke gak perlu sewot… tenang, penulis akan berkenalan di tulisan keduanya… tetap semangat kawan…

Salam berkarya J

Komentar